Rabu, 24 Desember 2014

cerpen tentang Ibu

Tersadar
Oleh: Desy Yusnia

Sudah menjadi ritual dipagi hari yang terkadang cerah, aku berangkat ke suatu lembaga pendidikan untuk mengenyam ilmu tanpa berpamitan pada orang tua. Namun, sudah menjadi ingatan dalam pikiran mereka pula bahwa hal tersebut adalah kebiasaan burukku. Tidak pernah sekalipun hinggap rasa lelah dalam diri ibu untuk menjalankan aktivitasnya sebagai ibu rumah tangga dan seorang pekerja. Disaat ayam jantan
melaksanakan kebiasaan pada dini hari untuk sekedar menyapa mentari dan hawa dingin dihangati dengan kumandangan adzan subuh, ibu telah bergegas bangun dari lelap tidurnya dan menyiapkan segala sesuatu yang ayah dan aku butuhkan. Namun hal itu tidak pernah aku sadari. Sebelum mengangkat kaki dari rumah menuju sekolah, ibu selalu berpesan “Manfaatkan ilmu yang kau dapatkan sebaik mungkin, nak.” dan dengan mudahnya suaru itu aku tinggalkan begitu saja.
“Kamu sudah pulang? Gimana tadi di sekolah? Lancar?” itu adalah pertanyaan andalan ibu yang selalu terlontar saat aku tiba dirumah. Aku lelah, kepalaku terasa ingin memuntahkan segala isi yang telah menggerogoti memori ingatan dalam otakku. Dan pertanyaan ibu menjadi puncak kejenuhanku. Namun, ibu selalu terlihat biasa dengan perlakuanku yang sering mengacuhkannya. “Ayo nak, makan siang dulu. Ibu sudah buatkan makanan kesukaanmu.” teriak ibu dari arah meja makan. Aku segera menghampiri hidangan tersebut dengan perut yang sudah meronta – ronta untuk dapat diberikan asupan energi. Dan lagi, aku makan tanpa ucapan terimakasih kepada ibu.
Hari itu, kali pertama aku tidak langsung pulang kerumah usai sekolah. Aku mengikuti jejak teman–temanku untuk menyusuri keindahan pantai di sore hari. Sungguh suatu keberuntungan dapat menikmati kehangatan hamparan pasir yang di hiasi ombak dengan suara khasnya, serta memandang langit berlatarkan warna orange yang menghiasi sebagian langit yang ingin bersembunyi di balik riak–riak air. Ada perasaan magis ketika aku dapat menyusuri hamparan pasir pantai pada malam itu. Terasa kelapangan dalam dada dan pikiran yang selama ini telah terkontaminasi dengan berbagai macam kalimat–kalimat penghias kehidupan kini terasa lebih ringan dan tenang. Aku hirup sekuat-kuatnya udara malam di pantai itu. Hingga tak sadar bahwa pipiku telah dibasahi oleh tetes demi tetes nikmat dari-Nya. Hujanpun turun dengan deras, aku bersama teman–teman memilih untuk berteduh dan menunggu hingga hujan reda.
Keadaan dirumah mulai tidak karuan ketika mendapati aku belum juga sampai dirumah tepat waktu pada sore itu dan ponselku tidak dapat dihubungi karena kehabisan daya. Terlihat jelas pula kekhawatiran yang nampak pada diri ibu ketika hujan mulai menemani hawa dingin yang menyelimuti malam itu. Ibu bergegas pergi mengitari jalan tanpa menghiraukan perhatian dari ayah. Namun perjalanan ibu tidak membuahkan hasil.
Hujan mulai reda ketika waktu telah menunjukkan pukul sebelas malam. Aku bersama teman–teman bergegas pulang. Dan aku dapati ibu dengan setia menungguku di depan pintu dan terlihat menggigil karena ditemani hawa dingin pada malam itu. Melihat aku datang dari kejauhan, ibu terlihat bergembira, dan dengan sigap ia langsung memelukku dan membiarkan aku hangat dalam peluknya. “Nak, kamu ganti baju dulu ya supaya tidak masuk angin. Akan ibu buatkan teh hangat untukmu.” ucapan ibu yang menghantarkanku ke kamar. Akhirnya ibu datang membawa segelas teh hangat yang dibalut dengan kasih sayang buatannya, menghampiriku yang sedang termenung dikamar. Ibu membiarkanku menghabiskan secangkir teh hangat itu dan memberikan aku waktu untuk beristirahat tanpa mengeluarkan satu ataupun dua kalimat pertanyaan. Akupun mengambil keputusan untuk membiarkan tubuh lelahku terbaring.
Terasa sesak di dada, tubuhku terbujur kaku dan mataku tak dapat menahan getaran yang ingin mengeluarkan tetes demi tetes air untuk membasuh pipi yang telah lama di manjakan oleh sentuhan halus bibir seorang ibu. Aku rasakan kehangatan dan ketulusannya, walaupun dalam keadaan berpura-pura telah terlelap, aku rasakan ibu menahan derai tangis ketika menyentuhku. Entah apa yang ada dalam pikiran beliau aku tidak mengetahuinya, namun yang aku tahu ketulusan itu ada dalam setiap tindakannya. Dengan sigap tangan itu ku raih saat aku rasakan ibu ingin berlalu dari peristirahatanku dan kembali ke kamarnya. Di saat itulah, kedua bola mata indah yang terlihat jelas menahan genangan air bertemu. Aku peluk erat tubuhnya, hangat, seakan itu kali pertama aku mendapati kehangatan yang tulus dari seorang ibu. Tanganku seakan tak ingin lepas melingkari tubuhnya karena yang aku pikirkan saat itu bahwa hal itu tak akan terulang kembali jika aku melepaskannya. “Ibu, maafkan aku. Aku sayang ibu.” kalimat penyesalanku yang muncul dari hati mengisi keheningan malam itu.



Selamat Hari Ibu, how lucky I'm to have best person like you, miss you :)

21 komentar:

  1. jadi terharu, inget sama mamahku juga :'(

    BalasHapus
  2. kerennn, selalu jadi anak yang membanggakan yaa!!1

    BalasHapus
  3. selamat hari ibu. Sudah sepatutnya kita berbakti kpda ibu kita yg telah bersusah payah mempertaruhkan nyawa ketika mereka melahirkan kita

    BalasHapus
  4. Jadi galau deeeh. Selamat hari Ibu untuk calon para Ibu guys :D

    BalasHapus
  5. jadi keinget ibu des. nasib anak rantau yg jarang berjumpa. semoga kita bisa jadi anak-anak yang membanggakan ortu kita ya. aamiin :))

    BalasHapus
  6. ibu itu emang segalanya . . . .

    BalasHapus
  7. wah mbak penulis membahas tentang ibu,, aku jadi kangen ibu ku, karena sudah lama tidak bertemu dan bercengkrama dengannya,,,

    BalasHapus