Oleh: Desy Yusnia
Hujan malam itu setia menemani Nurin yang tengah duduk termenung di sudut kamar menghadap keluar jendela. Nurin menikmati pemandangan dari jendela kamarnya tanpa memperhatikan laptop yang ia nyalakan. Sejak kedua orangtuanya sibuk bekerja di luar kota, Nurin selalu merasa kesepian dirumah. Namun hal itu tidak membuatnya bersedih karena ia terbiasa dengan kesendirian. Seketika Nurin terlelap dengan kepala tergeletak di atas meja belajar karena hembusan angin dari luar jendela. Nurin terlihat begitu nyenyak dan tenang dalam tidurnya. Entah apa yang ia mimpikan dalam tidurnya, wajahnya terlihat begitu cantik dengan senyuman kecil.
Jalanan masih terlihat sepi, daun-daun kering berterbangan, serta kokokan ayam yang saling bersahutan. Pagi-pagi sekali Nurin berangkat ke kampus untuk mengikuti kuliah agar bisa menempati tempat duduk paling depan. Nurin adalah seseorang yang tidak senang duduk di kursi belakang saat kuliah. Saat pertama kali dan terakhir kalinya Nurin duduk di kursi belakang kelas, ia merasakan pusing dan tidak kuat menerima materi. Saat itu, Nurin merasa kaget dan tertegun karena tak biasanya kursi depan telah banyak dipenuhi oleh mahasiswa pagi-pagi sekali.
“Rin, sini duduk sebelah gue. Jangan bengong aja.” Ujar Dantri, salah satu mahasiswi yang duduk di bagian depan.
Nurin langsung bergegas duduk sebelah Dantri tanpa mengiyakan ajakannya. Nurin yang saat itu telah duduk dan bersiap menerima materi kuliah tiba-tiba merasakan jantungnya berdetak lebih kencang. Ia merasakan ketidaknyamanan sekaligus kerinduan duduk bersebelahan dengan Dantri. Perasaan itu muncul karena sudah lama sekali sejak pertengkaran antara Nurin dan Dantri, mereka tidak pernah bertegur sapa.
“Rin, loe bengong aja dari tadi. Biasanya loe yang paling semangat ikutin pelajaran pas kuliah. Selesai kelas ini, kita beli es krim di tempat biasa yuk. Gue traktir deh.” Ajak Dantri dengan sedikit rayuan.
Nurin hanya menjawab ajakan Dantri dengan anggukan dan senyuman kecil. Bukan Nurin ingin menolak ajakan Dantri, tetapi Nurin merasakan senang yang berlebih sehingga ia tidak dapat berkata-kata dan tidak leluasa memperlihatkan rasa senang di wajahnya karena rasa canggung antara mereka. Dari wajahnya yang mulai memerah seperti kepiting rebus, terlihat sekali bahwa Nurin amat senang menerima ajakan Dantri.
Usai kuliah, Nurin dan Dantri berjalan menuju kafe yang tak jauh dari kampus tempat biasa mereka menghabiskan waktu bersama hanya sekedar untuk berbagi cerita dan bercanda. Mereka pun menempati meja paling ujung yang menghadap ke jalanan dengan dinding kaca, tempat biasa mereka bercengkarama dengan luwes sambil sesekali memperhatikan keramaian diluar kafe.
“Ice Cream Strawberry dengan topping oreo 2 ya.” Ujar Dantri dengan fasih saat pelayan menghampirinya.
Dantri hafal betul dengan kesukaan wanita cantik nan manis itu. Tidak lama kemudian es krim mereka pun datang.
“Rin, gue kangen jalan bareng loe lagi, gue kangen nonton bareng loe, tidur tempet loe, belajar bareng, pokoknya gue kangen deh. Loe gak kangen apa? Kayaknya loe baik-baik aja semenjak pisah sama gue.” Tanya Dantri.
Dalam hati Nurin berucap bahwa ia sangatlah rindu pada Dantri. Namun, Nurin hanya bisa diam mendengar ucapan Dantri.
“Habis ini kita nonton ya. Kayaknya ada film baru yang tayang bulan ini. Loe pasti suka.” Ajak Dantri.
Dengan lahap mereka menghabiskan es krim yang sudah di pesan agar tidak ketinggalan jadwal nonton di bioskop. Nurin masih terlihat diam dengan muka datar. Dantri diam-diam memilih film yang bertema lucu untuk menarik perhatian Nurin dan mereka pun duduk di kursi yang telah dipilih.
Nurin terlihat membuka mulut dengan barisan gigi yang putih rata dan senyum yang manis saat mengikuti alur film yang ditayangkan. Dantri merasa senang karena caranya telah berhasil untuk membuat Nurin tertawa. Mulai saat itu, Nurin pun memberanikan diri untuk banyak berbicara dengan Dantri. Seketika mereka mulai masuk dalam dunia kebersamaan mereka, dengan candaan dan gurauan yang membuat keduanya sering merindukan saat-saat seperti itu.
Akhir perjalanan mereka adalah makan di warung kesukaan Nurin. Sambil menunggu pesanan datang, mereka asyik bertukar cerita, pengalaman yang mereka lewati selama mereka berpisah. Tanpa sadar, Dantri teringat dengan masalah yang mereka alami sebelumnya.
“Rin, kalau loe masih marah dan dendam sama gue karena masalah kita dulu gue minta maaf ya. Gue minta maaf karena dulu gue ninggalin loe gitu aja demi orang lain. Tapi gue punya alasan kenapa gue berteman dengan Nia. Saat itu kedua orangtua Nia minta gue buat selalu nemenin Nia karena Nia punya penyakit yang cukup berat dan disamping itu Nia gak suka loe karena dia nganggap loe cewek yang paling perfect di kampus, dia iri Rin sama loe. Karena itu dia nyuruh gue untuk jauhin loe supaya loe bisa rasain sakit kayak dia, sakit karena gak punya satupun teman dekat, sakit karena gak punya orang yang bisa perhatian ama loe. Dan semenjak gue mau temenan sama dia, dia mulai mau berobat rutin supaya penyakitnya gak kambuh lagi. Maafin gue Rin, tapi kita memang gak bisa sering sama-sama kek dulu. Sekarang Nia lagi pergi ke luar negeri untuk berobat sama ortunya jadi gue punya kesempatan main sama loe.” Jelas Dantri.
Nurin kembali terdiam. Ia tidak pernah mengharapkan akhir kebersamaan mereka akan kembali seperti masalah mereka dulu.
“Rin, please jawab gue. Apa loe mau maafin kesalahan gue ini?” tanya Dantri dengan perasaan khawatir.
“Gue udah maafin loe dari dulu, Dan. Gue gak pernah benci sekalipun loe tinggalin gue demi teman lain kayak Nia. Gue cuma sedikit trauma buat berteman lagi dengan orang lain. Loe gak perlu repot-repot jelasin semuanya karena gue gak pernah pengen tau alasan kenapa loe mutusin persahabatan kita.” Jawab Nurin.
Nurin tiba-tiba berdiri, ia mengambil tas yang ada di kursi sebelahnya dan berjalan meninggalkan Dantri di warung itu.
“Rin, Rin, loe mau pergi kemana?” tanya Dantri.
“Rin, tunggu Rin. Dengerin dulu.” Pinta Dantri sambil berjalan menuju Nurin.
Namun, saat Nurin berjalan menjauh tiba-tiba ia melihat Dantri berada tepat di depannya dengan berjalan mundur kemudian perlahan menghilang dari hadapannya. Seketika, Nurin terbangun dan matanya silau terkena sinar matahari dari luar jendela. Nurin memperhatikan sekelilingnya, berupaya menemukan sisa-sisa perjalanannya semalam dengan Dantri. Tetapi ia hanya mendapatkan laptop masih menyala, jendela terbuka, dan ia sadar bahwa dirinya tertidur di meja belajar. Nurin mengambil napas dalam-dalam.
“Hmmp.... ternyata mimpi.” Ucap Nurin dalam hati.
Dantri adalah sahabat bahkan seperti saudara perempuan bagi Nurin. Sejak SD, mereka selalu menghabiskan waktu untuk sekedar bermain dan belajar bersama hingga akhirnya mereka berselisih paham ketika memasuki masa kuliah. Sebelum mimpi itu datang, Nurin tidak pernah bertegur sapa sejak perselisihan di antara mereka. Tanpa tahu sebab dari perselisihan itu, sampai saat ini Nurin pun tidak mengerti dan ia tidak ingin mengerti masalah yang telah membuat ia dan Dantri berpisah. Bahkan setelah mimpi itu berlanjut, tidak sekali pun Nurin menemui atau hanya sekedar bertegur sapa dengan Dantri.
Keduanya mempunyai sifat egois dan tidak mau mengalah satu sama lain sehingga membuat perselisihan diantara mereka tidak mereda. Nurin merasa baik-baik saja tanpa seorang pun teman disampingnya. Sejak berpisah dengan Dantri, sulit untuk Nurin mempercayai orang lain sebagai seorang teman.
Nurin hanya menganggap mimpi-mimpinya tentang Dantri dan dirinya sebagai perwakilan rasa rindunya kepada seorang sahabat yang pernah menghiasi hari-harinya sejak kecil. Setiap mimpi itu ia tuliskan dalam sebuah blog pribadi miliknya sebagai bukti bahwa ia merindukan seorang sahabat seperti Dantri. Tulisan itu ia beri nama “Sepenggal Rindu untuk Cinta”. Cinta yang diambil dari nama depan Dantri yang jarang sekali disebutkan saat Dantri memperkenalkan diri kepada orang lain. Cinta Sudantri, nama yang membuat Nurin rindu akan persahabatan sekaligus trauma akan kepercayaan dan pertemanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar