Oleh: Desy Yusnia
Pagi itu langit terlihat mendung,
burung-burung enggan bernyanyi, terik mentari tak kunjung menyapa karena
terhalang awan hitam yang membawa rintik-rintik air. Seketika kediaman almarhum
Pak Tijo dipenuhi oleh orang-orang serta kerabat dekat yang datang untuk turut
memberikan bela sungkawa atas meninggalnya Bu Prapti. Dibaluti suasana duka,
air mata Ara berderai sederas hujan yang turun kala itu. Bagaimana tidak, Ara
telah kehilangan seseorang yang ia sayangi untuk kedua kalinya.
Pak Tijo, ayah Ara telah meninggal
ketika Ara berumur 14 tahun. Sepeninggal ayahnya, Ara menghabiskan waktu
bersama Ibunya, Bu Prapti. Bu Prapti adalah seorang apoteker sekaligus sosok
yang sangat berpengaruh dalam hidup Ara. Oleh sebab itu, Ara ingin menjadi
seorang apoteker dan ia ingin sekali membangun sebuah apotek.
Setelah lulus dari SMA, Ara
mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi di Eropa. Dia ingin sekali
menerima beasiswa itu, tetapi ia tidak ingin meninggalkan ibunya sendirian
dirumah, karena ia mengerti betapa sulit hari-hari yang dijalani ibunya tanpa
seorang suami. Akhirnya, Ara menolak beasiswa itu dan memilih kuliah di
kotanya. Hingga semester empat, ia memperlihatkan hasil yang menakjubkann. Ia
dapat mempertahankan nilainya dan selalu mengikuti lomba karya ilmiah sekaligus
aktif dalam organisasi. Semua itu ia lakukan untuk membahagiakan dan
membanggakan ibunya.
Hari semakin larut dan Ara tak
kunjung pulang. Hal itu membuat ibunya khawatir dan gelisah. Tepat pukul 11
malam, Ara mendapati pintu rumah tidak terkunci dan ibunya tertidur dalam
posisi duduk di kursi ruang tamu.
“Bu.. bangun. Ayok kita pindah ke
kamar.” Ucap Ara membangunkan ibunya pelan sambil tersenyum.
Ibunya terbangun dan tersenyum
ketika melihat Ara pulang dengan selamat dan memeluk Ara yang tengah menuntunnya
ke kamar.
“Semalam kamu kemana saja, Ra?
Malam banget pulangnya. Kamu kan bisa gunakan hp mu, kalau ada sesuatu yang
penting dan mendadak kamu bisa kabarin ibu.” Tanya ibunya sembari menyiapkan
sarapan untuk Ara.
Ara hanya membalas pertanyaan ibunya
dengan senyuman.
“Kamu itu persis seperti bapakmu.
Ditanyain malah senyum.” Ujar ibunya.
“Hehehe maaf bu. Semalam Ara ada
rapat dan persiapan untuk acara ulang tahun fakultas. Hp Ara mati, jadi nggak
bisa kabarin ibu. Maaf ya ibunda Ara yang paling cantik. Ibu nggak perlu
khawatir, Ara bisa jaga diri kok.” Jawab Ara untuk menenangkan kekhawatiran
ibunya.
Ibunya sadar bahwa Ara tidak
seperti kebanyakan anak tunggal yang manja. Ara termasuk pribadi yang
bertanggung jawab, berwawasan luas, dan mandiri. Sedangkan bagi Ara, ibunya
adalah wanita yang tangguh dan terhebat.
Senja mulai menghilang. Terlihat
Ara sedang bercengkrama bersama ibunya di balkon rumah sembari menyambut
bintang-bintang penghuni langit malam muncul. Keduanya tampak bahagia saat itu,
canda tawa mereka seolah mampu melepas segala beban yang mereka pikul selama
ini. Saat suasana hening diantara keduanya, terselip pesan dari ibunya kepada
Ara.
“Ra, jika nanti Ara harus hidup
sendiri, Ara harus kuat ya. Ibu yakin Ara pasti akan jadi seseorang yang sukses
karena diri Ara sendiri.” Ibunya pun mencium kening Ara.
Ara tidak mengerti mengapa ibunya
berpesan seakan ingin pergi meninggalkannya. Tetapi ia membuang jauh-jauh
pikiran itu dan menganggap itu adalah pesan setiap ibu untuk anaknya.
Hingga pagi itu tiba, Ara sedikit
enggan meninggalkan tempat tidur. Dia hanya menolehkan mukanya ke kiri dan
mendapati jam dinding yang menunjukkan pukul 6 pagi. Langit masih terlihat
gelap, karena matahari tak menampakkan cahayanya ke bumi. Dengan terpaksa Ara
bergegas keluar kamar dan pergi ke dapur. Tak ada siapapun yang ia temui di
sana. Seketika rumah Ara seperti tanpa penghuni karena suasana sepi dan langit
yang gelap.
“Ibu.. Ibu..Ibu dimana?” teriak Ara
sambil menaiki anak tangga menuju kamar ibunya.
Tak ada suara yang menjawab
panggilan itu. Akhirnya Ara membuka pintu kamar ibunya dan berniat membangunkan
ibunya yang terlihat masih tertidur lelap.
“Ibundaku yang cantik, ayoo bangun.
Masa anaknya yang manis ini bangun duluan?” ujar Ara sambil tertawa geli.
Namun ibunya tak kunjung membuka
mata. Ara mulai curiga. Tak terlihat badan mungil itu bernapas. Diraihnya
tangan ibunya yang terlentang dan Ara mencoba mencari-cari napas di sekitar
hidung ibunya. Ara mulai khawatir, ia pun langsung menghubungi dokter keluarga.
Sungguh pagi yang memilukan. Ara
mendapati berita yang mengejutkan bahwa ibunya terkena serangan jantung yang
tidak ia ketahui sebelumnya. Kepergian ibunya membuat Ara benar-benar terpuruk.
“Kenapa ibu harus pergi ninggalin
Ara?” kata itu terucap dari bibir Ara yang dibasahi tangisan.
Kerabat Ara yang berdatangan hanya
bisa menyuruhnya untuk bersabar dengan ujian itu. Namun, kata-kata itu tak
cukup bisa membuat Ara bangkit kembali seperti dulu. Ara benar-benar merasa
jatuh, tak tahu tujuan hidupnya.
Esok hari, dengan mata sembam
akibat menangis semalaman Ara berniat untuk menikmati udara segar di teras
rumah. Tetapi di depan pintu rumah ia dapati sepucuk surat dan setangkai bunga
mawar putih. Ara pun mengurungkan niatnya, ia kembali ke kamar dan membuka sepucuk
surat yang ia dapati itu.
Dear Ara,
How are you? Aku turut berduka
cita. Memang tak mudah ditinggalkan oleh dua orang yang sangat berharga dalam
hidup kita. Aku pun telah mengalami hal serupa
sepertimu. Tetap tersenyum Ara,
kamu adalah Ara yang kuat dan Ara yang hebat yang pernah aku kenal.
Your inspiration is yourself.
Love, R.
Ara sedikit mencuri senyuman tengah membaca surat itu.
Pikirnya mengawang-awang. Kata-kata yang tertulis dalam surat itu seolah hidup
dalam dunia nyata. Ia seperti mengenali siapa penulis surat itu, namun memori
ingatannya tak mau bekerja sama untuk membuka lembaran-lembaran lama.
Untuk kedua kalinya, Ara mendapatkan surat dengan pengirim
yang sama dilengkapi seikat bunga matahari.
Dear Ara,
Aku harap kamu mulai membaik. Aku
harap kamu mulai bangkit. Dan aku harap kamu menjadi dirimu kembali.
Your inspiration is yourself.
Love, R.
Ingatan Ara masih belum mampu untuk
mengingat siapa sosok berinisial R itu. Hingga pada akhirnya, ia sengaja bangun
lebih pagi untuk mengetahui siapa pengirim surat dan bunga tersebut.
Keesokan harinya, Ara menunggu
sosok misterius itu, namun tak satupun orang datang kerumahnya. Ia merasa jenuh
karena telah menunggu hingga siang hari, akhirnya ia memutuskan untuk
jalan-jalan di sekitar kompleks rumahnya.
Sesampainya di rumah, Ara menemukan
surat yang ditunggunya tadi pagi. Ia merasa jengkel karena tidak dapat bertemu
dengan pengirim surat itu. Namun, Ara tersenyum kecil melihat surat itu
dilengkapi dengan seikat bunga tulip. Ia yakin bahwa pengirim surat itu adalah
orang yang dekat dengannya. Ara bergegas ingin mengetahui isi surat hari itu.
Dear Ara,
Mungkin kamu lupa siapa aku. Tapi
aku selalu menjadikanmu sahabat. Jika kamu ingin mengingatku lagi, aku akan berkunjung
ke rumahmu besok pukul 8 malam.
Ngomong-ngomong aku masih ingat
kalau kamu suka bunga tulip dan sangat ingin pergi ke Belanda untuk memetik
bunga itu langsung.
Your inspiration is yourself.
Love, R.
Ara begitu tak sabar ingin bertemu
dengan penulis surat yang selalu mencantumkan kata-kata “Your inspiration is
yourself”, kata yang tak asing baginya. Kata itu sepertinya pernah ia ucapkan
untuk seseorang di masa lalu.
Malam yang ditunggu pun tiba. Ara
terlihat mondar mandir di depan teras rumah dan pandangannya tak sedikitpun
lari dari jam tangannya. Tiba-tiba terlihat sosok wanita cantik, berbadan ideal
turun dari sebuah mobil dan menghampirinya. Tatapan mata diantara merekapun
saling bertemu. Ara tak menyangka bahwa orang itu adalah teman kecilnya, Reiza.
Reiza adalah teman kecil Ara sejak
di taman kanak-kanak. Namun, ketika memasuki bangku SMP, Reiza hidup bersama
paman dan bibinya di Belanda dan melanjutkan sekolah disana, sehingga keduanya
tak bisa saling memberi kabar. Kini, Reiza menjadi sosok yang sangat sukses di
usia muda. Ia mempunyai karir yang gemilang, pemikiran yang cemerlang, dan
selalu menginspirasi tiap pendengar saat ia menjadi seorang motivator.
Hamparan bintang-bintang dan sinar
rembulan di langit malam itu, menemani percakapan mereka. Terlihat keduanya
tengah asik mengingat masa kecil ketika mereka sering bermain bersama.
“Mmm, Za kamu sekarang tinggal
dimana?” tanya Ara penasaran.
“Tempat tinggalku nggak jauh kok
dari rumahmu.” Jawab Reiza sambil tersenyum.
“Za, apa kamu akan tinggal lama
disini? Setelah terima surat-surat darimu, aku jadi punya tujuan hidup lagi.
Kesuksesan dan kata-kata yang kamu ucapkan lewat surat-suratmu menginspirasiku
untuk melanjutkan hidup dan mulai mengejar cita-citaku untuk membangun sebuah
apotek.” Ujar Ara dengan mata berkaca-kaca.
“Ra, kamu pasti bisa kejar
cita-citamu. Kamu bisa kejar impianmu. Aku tau kamu wanita yang kuat. Besok aku
akan kembali ke Belanda karena ada pekerjaan disana. Tapi kamu tenang saja.
Kita bisa bertukar kabar melalui email.” Ucap Reiza sambil mengelus punggung
Ara.
Seketika keadaan hening, mereka tak
berucap lagi satu sama lain. Hingga akhirnya Reiza berpamitan untuk pulang
karena sudah larut malam.
Keesokannya, Ara bangun sangat pagi
sekali. Langkah kaki Ara membawanya pergi ke bandara untuk mengantar
keberangkatan Reiza yang semalam memberikan pesan padanya.
“Besok aku berangakat jam 8, jika
kamu mau ikut mengantarkanku.” Isi pesan singkat Reiza di ponsel Ara.
Mata Ara tertuju pada berbagai
arah, ia mencoba mencari sosok teman kecilnya di antara kerumunan orang-orang
di bandara hari itu. Hingga akhirnya ia temukan pemilik senyuman manis itu.
Kedatangannya disambut oleh Reiza dengan senyum dan pelukan.
“Ra, lanjutkan kuliahmu ya. Kejar
cita-citamu untuk membangun apotek.” Pesan Reiza pada Ara.
Sepeninggal kedua orangtuanya,
Reiza memanglah seorang motivator yang sangat berpengaruh dalam hidup Ara.
Walaupun mereka dipertemukan lagi dalam waktu singkat, ucapan-ucapan yang
keluar dari mulut Reiza adalah pesan-pesan penting bagi Ara untuk melanjutkan
hidupnya sendiri. Perlahan-lahan Ara mulai bangkit, tujuan hidupnya mulai
terarah, ia semakin mantap menyelesaikan kuliahnya dan mengejar cita-citanya
menjadi seorang apoteker dan mempunyai apotek.
“Panggilan keberangkatan menuju
Belanda. Silahkan menuju gate 1...”
Tiba-tiba suara panggilan itu
menghentikan percakapan antara Ara dan Reiza. Di akhir perpisahan Reiza
memberikan sepucuk surat dan setangkai bunga tulip yang ia siapkan untuk Ara.
“Baca surat ini setelah kamu
berhasil membangun sebuah apotek.” Ucap Reiza sembari menyerahkan sepucuk surat
dan bunga pada Ara.
“Aku pamit ya. Jaga diri kamu
baik-baik. Aku tunggu berita kesuksesanmu.” Lanjut Reiza sambil berlalu
diantara orang-orang menuju gate 1.
Ara menatap lekat surat yang
digenggamnya. Yang menjadi pertanyaan adalah kenapa Reiza memintanya membaca
surat itu setelah ia berhasil membangun apotek? Tak ingin berdiri lama di
bandara, Ara pun bergegas pulang.
Sepeninggal Reiza ke Belanda, Ara
melanjutkan kehidupannya dengan normal. Untuk bisa makan dan menyelesaikan
studinya, ia bekerja di salah satu apotek yang dekat dengan rumahnya. Pekerjaan
itu menjadi pengalaman baginya agar tahu apa yang harus dilakukan ketika
mempunyai apotek sendiri.
Walaupun terlambat menyelesaikan
kuliah, Ara tetap berhasil memperoleh gelar sarjana farmasi dengan nilai yang
cukup memuaskan baginya. Karena keuletan pekerjaannya pun, ia disenangi oleh
orang-orang terutama Bu Ani, pemilik apotek tempat ia bekerja. Bu Ani hidup
sendiri, suaminya sudah lama meninggal dunia dan ia belum sempat dikaruniai
anak. Oleh karena itu, Bu Ani menganggap Ara seperti anaknya sendiri.
Sebagian gaji hasil Ara bekerja di
apotek ia sisihkan untuk di tabung. Setelah sekian lama, akhirnya ia mampu
membangun apotek dengan hasil kerja kerasnya. Ara sangat senang dan bangga pada
dirinya sendiri. Seketika ia teringat pada sepucuk surat yang pernah diberikan
oleh Reiza di bandara. Usai acara pembukaan apotek miliknya, Ara bergegas
pulang dan menuju kamar. Diraihnya surat yang ia letakkan di laci meja hias.
Dear Ara,
Aku pastikan kamu telah sukses
sebelum membaca surat ini. Bagaimana apotek barumu? Akan kamu berikan nama apa?
Apa kamu lupa? Ketika aku berumur 6
tahun, kedua orang tua ku meninggal karena kecelakaan. Kamulah satu-satunya
teman kecilku yang selalu mendukungku untuk tetap tegar dan bangkit, kamu yang
meyakinkan bahwa aku bisa berdiri dengan kekuatanku sendiri.
Dan satu pesan kecil darimu yang
selalu aku ingat dan lakukan, “Reiza harus bangkit. Kita akan sama-sama sukses
kelak. Saat kamu nggak tau apa yang harus kamu lakukan selanjutnya, ingatlah
bahwa hidupmu adalah kemauanmu. Carilah inspirasi pada dirimu sendiri yang juga
bermanfaat untuk orang lain.”
Aku sempat menertawai kata-katamu,
karena aneh saja ada seorang anak yang kemana-mana masih dikawal ibunya bisa
mengeluarkan kata-kata seperti itu, yang seharusnya di ucapkan oleh orang
dewasa.
Kamu benar , aku bisa mencari
inspirasi dalam diriku sendiri. Dengan berbagai pengalaman hidup dan pesan
darimu, akhirnya aku bisa menjadi seorang Reiza yang memotivasi setiap orang.
“Your inspiration is yourself.”
Ucapmu waktu itu dengan ejaan inggris yang kurang lancar.
Perlu kamu ketahui, bagiku
inspirasiku bukanlah dari diriku sendiri. Inspirasiku adalah dari kamu, Ara.
Love, R.
Derai air mata yang membasahi pipi
Ara, disusul senyuman kecil usai membaca surat itu. Ara semakin yakin untuk
melanjutkan kehidupannya dan berjanji akan berkunjung ke Belanda suatu saat
nanti. Ia menyimpan dan mengumpulkan surat-surat yang pernah Reiza berikan
dalam kotak berwarna cokelat. Kotak itu selalu ia jaga dan ia baca
berulang-ulang surat yang ada di dalamnya ketika merasa rindu dan kesepian. Ia
menyebut kotak itu sebagai kotak surat penuh inspirasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar