Selasa, 02 Juni 2015

Kotak Surat Penuh Inspirasi

Oleh: Desy Yusnia

Pagi itu langit terlihat mendung, burung-burung enggan bernyanyi, terik mentari tak kunjung menyapa karena terhalang awan hitam yang membawa rintik-rintik air. Seketika kediaman almarhum Pak Tijo dipenuhi oleh orang-orang serta kerabat dekat yang datang untuk turut memberikan bela sungkawa atas meninggalnya Bu Prapti. Dibaluti suasana duka, air mata Ara berderai sederas hujan yang turun kala itu. Bagaimana tidak, Ara telah kehilangan seseorang yang ia sayangi untuk kedua kalinya.

Pak Tijo, ayah Ara telah meninggal ketika Ara berumur 14 tahun. Sepeninggal ayahnya, Ara menghabiskan waktu bersama Ibunya, Bu Prapti. Bu Prapti adalah seorang apoteker sekaligus sosok yang sangat berpengaruh dalam hidup Ara. Oleh sebab itu, Ara ingin menjadi seorang apoteker dan ia ingin sekali membangun sebuah apotek.
Setelah lulus dari SMA, Ara mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi di Eropa. Dia ingin sekali menerima beasiswa itu, tetapi ia tidak ingin meninggalkan ibunya sendirian dirumah, karena ia mengerti betapa sulit hari-hari yang dijalani ibunya tanpa seorang suami. Akhirnya, Ara menolak beasiswa itu dan memilih kuliah di kotanya. Hingga semester empat, ia memperlihatkan hasil yang menakjubkann. Ia dapat mempertahankan nilainya dan selalu mengikuti lomba karya ilmiah sekaligus aktif dalam organisasi. Semua itu ia lakukan untuk membahagiakan dan membanggakan ibunya.
Hari semakin larut dan Ara tak kunjung pulang. Hal itu membuat ibunya khawatir dan gelisah. Tepat pukul 11 malam, Ara mendapati pintu rumah tidak terkunci dan ibunya tertidur dalam posisi duduk di kursi ruang tamu.
“Bu.. bangun. Ayok kita pindah ke kamar.” Ucap Ara membangunkan ibunya pelan sambil tersenyum.
Ibunya terbangun dan tersenyum ketika melihat Ara pulang dengan selamat dan memeluk Ara yang tengah menuntunnya ke kamar.
“Semalam kamu kemana saja, Ra? Malam banget pulangnya. Kamu kan bisa gunakan hp mu, kalau ada sesuatu yang penting dan mendadak kamu bisa kabarin ibu.” Tanya ibunya sembari menyiapkan sarapan untuk Ara.
Ara hanya membalas pertanyaan ibunya dengan senyuman.
“Kamu itu persis seperti bapakmu. Ditanyain malah senyum.” Ujar ibunya.
“Hehehe maaf bu. Semalam Ara ada rapat dan persiapan untuk acara ulang tahun fakultas. Hp Ara mati, jadi nggak bisa kabarin ibu. Maaf ya ibunda Ara yang paling cantik. Ibu nggak perlu khawatir, Ara bisa jaga diri kok.” Jawab Ara untuk menenangkan kekhawatiran ibunya.
Ibunya sadar bahwa Ara tidak seperti kebanyakan anak tunggal yang manja. Ara termasuk pribadi yang bertanggung jawab, berwawasan luas, dan mandiri. Sedangkan bagi Ara, ibunya adalah wanita yang tangguh dan terhebat.
Senja mulai menghilang. Terlihat Ara sedang bercengkrama bersama ibunya di balkon rumah sembari menyambut bintang-bintang penghuni langit malam muncul. Keduanya tampak bahagia saat itu, canda tawa mereka seolah mampu melepas segala beban yang mereka pikul selama ini. Saat suasana hening diantara keduanya, terselip pesan dari ibunya kepada Ara.
“Ra, jika nanti Ara harus hidup sendiri, Ara harus kuat ya. Ibu yakin Ara pasti akan jadi seseorang yang sukses karena diri Ara sendiri.” Ibunya pun mencium kening Ara.
Ara tidak mengerti mengapa ibunya berpesan seakan ingin pergi meninggalkannya. Tetapi ia membuang jauh-jauh pikiran itu dan menganggap itu adalah pesan setiap ibu untuk anaknya.
Hingga pagi itu tiba, Ara sedikit enggan meninggalkan tempat tidur. Dia hanya menolehkan mukanya ke kiri dan mendapati jam dinding yang menunjukkan pukul 6 pagi. Langit masih terlihat gelap, karena matahari tak menampakkan cahayanya ke bumi. Dengan terpaksa Ara bergegas keluar kamar dan pergi ke dapur. Tak ada siapapun yang ia temui di sana. Seketika rumah Ara seperti tanpa penghuni karena suasana sepi dan langit yang gelap.
“Ibu.. Ibu..Ibu dimana?” teriak Ara sambil menaiki anak tangga menuju kamar ibunya.
Tak ada suara yang menjawab panggilan itu. Akhirnya Ara membuka pintu kamar ibunya dan berniat membangunkan ibunya yang terlihat masih tertidur lelap.
“Ibundaku yang cantik, ayoo bangun. Masa anaknya yang manis ini bangun duluan?” ujar Ara sambil tertawa geli.
Namun ibunya tak kunjung membuka mata. Ara mulai curiga. Tak terlihat badan mungil itu bernapas. Diraihnya tangan ibunya yang terlentang dan Ara mencoba mencari-cari napas di sekitar hidung ibunya. Ara mulai khawatir, ia pun langsung menghubungi dokter keluarga.
Sungguh pagi yang memilukan. Ara mendapati berita yang mengejutkan bahwa ibunya terkena serangan jantung yang tidak ia ketahui sebelumnya. Kepergian ibunya membuat Ara benar-benar terpuruk.
“Kenapa ibu harus pergi ninggalin Ara?” kata itu terucap dari bibir Ara yang dibasahi tangisan.
Kerabat Ara yang berdatangan hanya bisa menyuruhnya untuk bersabar dengan ujian itu. Namun, kata-kata itu tak cukup bisa membuat Ara bangkit kembali seperti dulu. Ara benar-benar merasa jatuh, tak tahu tujuan hidupnya.
Esok hari, dengan mata sembam akibat menangis semalaman Ara berniat untuk menikmati udara segar di teras rumah. Tetapi di depan pintu rumah ia dapati sepucuk surat dan setangkai bunga mawar putih. Ara pun mengurungkan niatnya, ia kembali ke kamar dan membuka sepucuk surat yang ia dapati itu.
Dear Ara,
How are you? Aku turut berduka cita. Memang tak mudah ditinggalkan oleh dua orang yang sangat berharga dalam hidup kita. Aku pun telah mengalami hal serupa
sepertimu. Tetap tersenyum Ara, kamu adalah Ara yang kuat dan Ara yang hebat yang pernah aku kenal.
Your inspiration is yourself.
Love, R.
Ara sedikit mencuri senyuman tengah membaca surat itu. Pikirnya mengawang-awang. Kata-kata yang tertulis dalam surat itu seolah hidup dalam dunia nyata. Ia seperti mengenali siapa penulis surat itu, namun memori ingatannya tak mau bekerja sama untuk membuka lembaran-lembaran lama.
Untuk kedua kalinya, Ara mendapatkan surat dengan pengirim yang sama dilengkapi seikat bunga matahari.
Dear Ara,
Aku harap kamu mulai membaik. Aku harap kamu mulai bangkit. Dan aku harap kamu menjadi dirimu kembali.
Your inspiration is yourself.
Love, R.
Ingatan Ara masih belum mampu untuk mengingat siapa sosok berinisial R itu. Hingga pada akhirnya, ia sengaja bangun lebih pagi untuk mengetahui siapa pengirim surat dan bunga tersebut.
Keesokan harinya, Ara menunggu sosok misterius itu, namun tak satupun orang datang kerumahnya. Ia merasa jenuh karena telah menunggu hingga siang hari, akhirnya ia memutuskan untuk jalan-jalan di sekitar kompleks rumahnya.
Sesampainya di rumah, Ara menemukan surat yang ditunggunya tadi pagi. Ia merasa jengkel karena tidak dapat bertemu dengan pengirim surat itu. Namun, Ara tersenyum kecil melihat surat itu dilengkapi dengan seikat bunga tulip. Ia yakin bahwa pengirim surat itu adalah orang yang dekat dengannya. Ara bergegas ingin mengetahui isi surat hari itu.
Dear Ara,
Mungkin kamu lupa siapa aku. Tapi aku selalu menjadikanmu sahabat. Jika kamu ingin mengingatku lagi, aku akan berkunjung ke rumahmu besok pukul 8 malam.
Ngomong-ngomong aku masih ingat kalau kamu suka bunga tulip dan sangat ingin pergi ke Belanda untuk memetik bunga itu langsung.
Your inspiration is yourself.
Love, R.
Ara begitu tak sabar ingin bertemu dengan penulis surat yang selalu mencantumkan kata-kata “Your inspiration is yourself”, kata yang tak asing baginya. Kata itu sepertinya pernah ia ucapkan untuk seseorang di masa lalu.
Malam yang ditunggu pun tiba. Ara terlihat mondar mandir di depan teras rumah dan pandangannya tak sedikitpun lari dari jam tangannya. Tiba-tiba terlihat sosok wanita cantik, berbadan ideal turun dari sebuah mobil dan menghampirinya. Tatapan mata diantara merekapun saling bertemu. Ara tak menyangka bahwa orang itu adalah teman kecilnya, Reiza.
Reiza adalah teman kecil Ara sejak di taman kanak-kanak. Namun, ketika memasuki bangku SMP, Reiza hidup bersama paman dan bibinya di Belanda dan melanjutkan sekolah disana, sehingga keduanya tak bisa saling memberi kabar. Kini, Reiza menjadi sosok yang sangat sukses di usia muda. Ia mempunyai karir yang gemilang, pemikiran yang cemerlang, dan selalu menginspirasi tiap pendengar saat ia menjadi seorang motivator.
Hamparan bintang-bintang dan sinar rembulan di langit malam itu, menemani percakapan mereka. Terlihat keduanya tengah asik mengingat masa kecil ketika mereka sering bermain bersama.
“Mmm, Za kamu sekarang tinggal dimana?” tanya Ara penasaran.
“Tempat tinggalku nggak jauh kok dari rumahmu.” Jawab Reiza sambil tersenyum.
“Za, apa kamu akan tinggal lama disini? Setelah terima surat-surat darimu, aku jadi punya tujuan hidup lagi. Kesuksesan dan kata-kata yang kamu ucapkan lewat surat-suratmu menginspirasiku untuk melanjutkan hidup dan mulai mengejar cita-citaku untuk membangun sebuah apotek.” Ujar Ara dengan mata berkaca-kaca.
“Ra, kamu pasti bisa kejar cita-citamu. Kamu bisa kejar impianmu. Aku tau kamu wanita yang kuat. Besok aku akan kembali ke Belanda karena ada pekerjaan disana. Tapi kamu tenang saja. Kita bisa bertukar kabar melalui email.” Ucap Reiza sambil mengelus punggung Ara.
Seketika keadaan hening, mereka tak berucap lagi satu sama lain. Hingga akhirnya Reiza berpamitan untuk pulang karena sudah larut malam.
Keesokannya, Ara bangun sangat pagi sekali. Langkah kaki Ara membawanya pergi ke bandara untuk mengantar keberangkatan Reiza yang semalam memberikan pesan padanya.
“Besok aku berangakat jam 8, jika kamu mau ikut mengantarkanku.” Isi pesan singkat Reiza di ponsel Ara.
Mata Ara tertuju pada berbagai arah, ia mencoba mencari sosok teman kecilnya di antara kerumunan orang-orang di bandara hari itu. Hingga akhirnya ia temukan pemilik senyuman manis itu. Kedatangannya disambut oleh Reiza dengan senyum dan pelukan.
“Ra, lanjutkan kuliahmu ya. Kejar cita-citamu untuk membangun apotek.” Pesan Reiza pada Ara.
Sepeninggal kedua orangtuanya, Reiza memanglah seorang motivator yang sangat berpengaruh dalam hidup Ara. Walaupun mereka dipertemukan lagi dalam waktu singkat, ucapan-ucapan yang keluar dari mulut Reiza adalah pesan-pesan penting bagi Ara untuk melanjutkan hidupnya sendiri. Perlahan-lahan Ara mulai bangkit, tujuan hidupnya mulai terarah, ia semakin mantap menyelesaikan kuliahnya dan mengejar cita-citanya menjadi seorang apoteker dan mempunyai apotek.
“Panggilan keberangkatan menuju Belanda. Silahkan menuju gate 1...”
Tiba-tiba suara panggilan itu menghentikan percakapan antara Ara dan Reiza. Di akhir perpisahan Reiza memberikan sepucuk surat dan setangkai bunga tulip yang ia siapkan untuk Ara.
“Baca surat ini setelah kamu berhasil membangun sebuah apotek.” Ucap Reiza sembari menyerahkan sepucuk surat dan bunga pada Ara.
“Aku pamit ya. Jaga diri kamu baik-baik. Aku tunggu berita kesuksesanmu.” Lanjut Reiza sambil berlalu diantara orang-orang menuju gate 1.
Ara menatap lekat surat yang digenggamnya. Yang menjadi pertanyaan adalah kenapa Reiza memintanya membaca surat itu setelah ia berhasil membangun apotek? Tak ingin berdiri lama di bandara, Ara pun bergegas pulang.
Sepeninggal Reiza ke Belanda, Ara melanjutkan kehidupannya dengan normal. Untuk bisa makan dan menyelesaikan studinya, ia bekerja di salah satu apotek yang dekat dengan rumahnya. Pekerjaan itu menjadi pengalaman baginya agar tahu apa yang harus dilakukan ketika mempunyai apotek sendiri.
Walaupun terlambat menyelesaikan kuliah, Ara tetap berhasil memperoleh gelar sarjana farmasi dengan nilai yang cukup memuaskan baginya. Karena keuletan pekerjaannya pun, ia disenangi oleh orang-orang terutama Bu Ani, pemilik apotek tempat ia bekerja. Bu Ani hidup sendiri, suaminya sudah lama meninggal dunia dan ia belum sempat dikaruniai anak. Oleh karena itu, Bu Ani menganggap Ara seperti anaknya sendiri.
Sebagian gaji hasil Ara bekerja di apotek ia sisihkan untuk di tabung. Setelah sekian lama, akhirnya ia mampu membangun apotek dengan hasil kerja kerasnya. Ara sangat senang dan bangga pada dirinya sendiri. Seketika ia teringat pada sepucuk surat yang pernah diberikan oleh Reiza di bandara. Usai acara pembukaan apotek miliknya, Ara bergegas pulang dan menuju kamar. Diraihnya surat yang ia letakkan di laci meja hias.
Dear Ara,
Aku pastikan kamu telah sukses sebelum membaca surat ini. Bagaimana apotek barumu? Akan kamu berikan nama apa?
Apa kamu lupa? Ketika aku berumur 6 tahun, kedua orang tua ku meninggal karena kecelakaan. Kamulah satu-satunya teman kecilku yang selalu mendukungku untuk tetap tegar dan bangkit, kamu yang meyakinkan bahwa aku bisa berdiri dengan kekuatanku sendiri.
Dan satu pesan kecil darimu yang selalu aku ingat dan lakukan, “Reiza harus bangkit. Kita akan sama-sama sukses kelak. Saat kamu nggak tau apa yang harus kamu lakukan selanjutnya, ingatlah bahwa hidupmu adalah kemauanmu. Carilah inspirasi pada dirimu sendiri yang juga bermanfaat untuk orang lain.”
Aku sempat menertawai kata-katamu, karena aneh saja ada seorang anak yang kemana-mana masih dikawal ibunya bisa mengeluarkan kata-kata seperti itu, yang seharusnya di ucapkan oleh orang dewasa.
Kamu benar , aku bisa mencari inspirasi dalam diriku sendiri. Dengan berbagai pengalaman hidup dan pesan darimu, akhirnya aku bisa menjadi seorang Reiza yang memotivasi setiap orang.
“Your inspiration is yourself.” Ucapmu waktu itu dengan ejaan inggris yang kurang lancar.
Perlu kamu ketahui, bagiku inspirasiku bukanlah dari diriku sendiri. Inspirasiku adalah dari kamu, Ara.
Love, R.
Derai air mata yang membasahi pipi Ara, disusul senyuman kecil usai membaca surat itu. Ara semakin yakin untuk melanjutkan kehidupannya dan berjanji akan berkunjung ke Belanda suatu saat nanti. Ia menyimpan dan mengumpulkan surat-surat yang pernah Reiza berikan dalam kotak berwarna cokelat. Kotak itu selalu ia jaga dan ia baca berulang-ulang surat yang ada di dalamnya ketika merasa rindu dan kesepian. Ia menyebut kotak itu sebagai kotak surat penuh inspirasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar